TAWAKAL ( Definisi, Hakekat, dan Keutamaan )


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
            Dalam kehidupan sehari-sehari kita sering mendengar kata tawakal. bagi sebagian orang telah mengerti makna dari tawakkal tersebut namun sebagian orang lainya belum paham mengenai makna dari tawakal. Dalam makalah ini akan menjelaskan tentang pengertian , keutamaan dan hakikat tentang tawakal itu. Sebagian orang menganggap bahwa tawakkal adalah sikap pasrah tanpa melakukan usaha sama sekali. Misalnya dapat kita lihat pada sebagian pelajar yang keesokan harinya akan melaksanakan tes. Pada malam harinya, sebagian dari mereka tidak sibuk untuk menyiapkan diri untuk menghadapi ujian besok namun malah sibuk dengan main game atau hal yang tidak bermanfaat lainnya. Lalu mereka mengatakan, "Saya pasrah saja, paling besok ada keajaiban." Apakah semacam ini benar-benar disebut tawakkal?! Semoga pembahasan di makalah ini dapat menjelaskan pada pembaca sekalian mengenai tawakkal yang sebenarnya dan apa saja manfaat dari tawakkal tersebut.
B. Rumusan masalah
1.    Apakah yang disebut Tawakal itu?
2.    Apa hakekat yang sebenarnya Tawakal?
3.    Apa keutamaan Tawakal dalam kehidupan kita?

C. Tujuan penulisan
1.    Agar kita mengerti apa yang disebut tawakal itu?
2.    Agar kita mengetahui hakekat yang sebenarnya terkait dengan tawakal?
3.    Supaya kita lebih paham keutamaan tawakal dalam kehidupan kita?


BAB II
PEMBAHASAN

A.  DEFINISI TAWAKAL
Kata tawakal dalam bahasa Indonesia sebenarnya berasal dari bahasa asing yaitu bahasa Arab, asal katanya adalah dari padanan “Tawakkala-Yatawakkalu-Tawakkulan” yang artinya adalah pasrah atau berserah diri dan kata-kata ini berhubungan dengan perbuatan seseorang yang terjadi di masa lampau atau yang sedang dilakukan dan yang akan dilakukan di masa mendatang.[1]
Sebagai contoh:
4 ö@è% zÓÉ<ó¡ym ª!$# ( Ïmøn=tã ã@ž2uqtGtƒ tbqè=Ïj.uqtGßJø9$# ÇÌÑÈ  
Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku”. kepada- Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri. (Az Zumar: 38)

Adapun subjeknya disebut dengan “Mutawakkil” artinya orang yang senantiasa berserah diri atau pasrah. Seperti contoh pada ayat di atas:
kepada- Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri. (Az Zumar: 38)
Jika menjadi kata perintah maka akan berubah menjadi “Tawakkal” dengan mematikan harakat di akhir atau menjadikannya sukun dalam kaidah tajwid dan mempunyai arti dalam bahasa Indonesia “Bertawakalah Anda” dicontohkan dalam firman Allah Ta’ala di surat Al Ahzab ayat 3.

ö@ž2uqs?ur n?tã «!$# 4 4xÿŸ2ur «!$$Î/ WxÏ.ur ÇÌÈ  
3. Dan bertawakkallah (Kamu) kepada Allah. dan cukuplah Allah sebagai Pemelihara.(QS. Al Ahzab : 3).


Ditambahkan di ayat lainnya:
ß#ôã$$sù öNåk÷]tã öÏÿøótGó$#ur öNçlm; öNèdöÍr$x©ur Îû ͐öDF{$# ( #sŒÎ*sù |MøBztã ö@©.uqtGsù n?tã «!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tû,Î#Ïj.uqtGßJø9$# ÇÊÎÒÈ  
159. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah (Kamu) kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Ali-Imran: 159)

Sifat tawakal sendiri adalah ciri daripada orang-orang yang beriman, orang yang bertawakal pasti beriman dan orang beriman pasti bertawakal, kedua-duanya tidak dapat dipisahkan seperti anggota tubuh manusia yang saling berhubungan satu sama lainnya.[2]
Di antara sifat orang yang bertawakal yaitu mereka yang berdoa kepada Tuhan semesta alam dengan penuh pengharapan akan rahmat-Nya dan dengan suara yang merendah.
$tBur !$oYs9 žwr& Ÿ@ž2uqtGtR n?tã «!$# ôs%ur $uZ1yyd $oYn=ç7ß 4
Mengapa kami tidak akan bertawakkal kepada Allah padahal Dia telah menunjukkan jalan kepada kami. (Ibrahim: 12)

Dengan berserah diri kepada Allah Ta’ala atau menyerahkan semua urusan kepada-Nya bukan serta merta melepas kerasionalan atau nalar kita sebagai makhluk yang dikaruniakan akal dan pikiran, karena Islam menunjukkan jalan kepada manusia untuk menjadi pribadi-pribadi yang peka akan isu-isu yang terjadi di sekitarnya dan cerdas dalam mengambil sikap dan keputusan.
Sebagai contoh ada seorang pemuda yang sedang melakukan perjalanan jauh dengan menggunakan sepeda motor, lalu dia berhenti sejenak untuk menunaikan ibadah shalat di sebuah tempat yang asing baginya sambil memarkirkan motornya dengan memberikan pengamanan lebih seperti memasang kunci otomatis pada stang atau ban motornya.
Di tengah shalat tiba-tiba motor itu diakali oleh sekawanan pencuri dan dibawalah motornya, sang pemuda yang mengetahui kejadian tersebut langsung membatalkan shalatnya sambil mengejar kendaraan miliknya yang dibawa kabur oleh pencuri.
Dan akhirnya motor yang dicuri tersebut berhasil direbut kembali dengan kegigihan pemuda dan sebagian masyarakat yang membantunya melakukan pengejaran terhadap kawanan pencuri kendaraan bermotor sekalipun para pencuri tersebut berhasil melarikan diri ke hutan.
Lalu berkatalah sebagian masyarakat yang awam kepadanya “kenapa kamu meninggalkan shalat dan lebih mengutamakan untuk mengejar motor milikmu’’ itukan hanyalah bersifat duniawi dan titipan Tuhan yang bisa saja hilang dengan mudah, toh rezeki itu tidak pergi kemana-mana dan tidak akan tertukar “begitu tambah mereka”.

“Saya hanya mengikuti metode Rasulullah yang tidak suka menyulitkan diri dan senang terhadap kemudahan” begitu jawab sang pemuda singkat.
Inilah pesan yang terkadung dari ilmu “Maqosid Syariah” yaitu salah satu disiplin ilmu yang mandiri dalam studi Islam, di satu sisi dia telah membatalkan shalatnya hanya karena mengejar motornya dan ingin mendapatkannya kembali, di sisi lain dia berpikir cerdas karena dengan mendapat kendaraan miliknya kembali dia bisa dengan tenang melanjutkan perjalanan yang masih jauh.[3] Maka secara otomatis pesan-pesan maqosid pun terjaga dengan baik di antaranya:
1.    Menjaga akal dan pikiran (Tidak menjadi bebannya)
2.    Menjaga materi (Tidak kehilangan kendaraannya)
3.    Menjaga agama (bisa meneruskan shalatnya setelah mendapatkan motornya)
4.    Dan yang terpenting menjaga jiwa dan dirinya (terbebas dari keterlantaran di tengah jalan).
Bukankah ajaran Islam datang untuk memberikan maslahat atau manfaat kepada kita dengan memudahkan para pemeluknya dengan tidak melupakan tujuan hidup yaitu melakukan penyembahan mutlak kepada Allah Ta’ala dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Kedatangan ajaran Islam di muka bumi untuk dimengerti dan bertujuan mencerdaskan pola pikir masyarakat serta menyelamatkan manusia dari kemunduran dalam hal apapun, itu artinya Islam menolak segala jenis kerusakan dan kemunduran berpikir.
Hadist nabi:
“Agama itu mudah; agama yang disenangi Allah yang benar lagi mudah.”[1]
Artinya: “Mudahkanlah dan jangan mempersukar ” [2]
“…dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan…” (Al Hajj: 78).

Ditambahkan di surat At Taghaabun ayat 16:
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu… ‘’
Kemudahan demi kemudahan dalam ajaran Islam sangatlah dianjurkan, maka pilihlah opsi yang termudah dari opsi-opsi yang ada, karena Rasulullah pun senang melakukannya dengan satu sarat yaitu kemudahan tersebut bukan pada hal yang berbau maksiat yang jelas menimbulkan dosa, contoh:
1.      Shalatnya seorang musafir, ada 2 opsi kemudahan yang ditawarkan oleh Islam kepada kita disaat bepergian jauh:
a.       Opsi pertama kita bisa menggabungkan shalat (Zuhur dan Ashar tetap 4 rakaat “4 dan 4″ dalam waktu bersamaan).
b.       Opsi kedua menggabung dan meringkasnya (Zuhur dan Ashar diringkas menjadi 2 rakaat “2 dan 2″ dalam waktu bersamaan).
Opsi manakah yang akan anda pilih ? (kami sarankan silahkan pilih yang termudah)
2.             Di saat kesulitan mengakses ilmu agama via belajar langsung ke Timur Tengah atau perguruan tinggi terkenal dibidangnya, kita tidak perlu khawatir karena ada opsi lain yang bisa menjadikan kita mengerti akan ilmu-ilmu keagamaan, diantaranya:
a.       Dengan mendatangi majelis-majelis ilmu yang dihiasi oleh ustadz atau ustadzah yang keilmuannya tidak diragukan dan pakar di bidangnya.
b.       Banyak bertanya kepada mereka tentang apa-apa yang kita tidak mengetahuinya
c.        Bisa juga memanfaatkan kekinian dengan menyimak kajian via radio, online, youtube dan media lainnya atau membaca artikel-artikel dari situs Islam yang bisa dipertanggungjawabkan keilmuannya.[4]
Contoh lain dari tawakal:
Seekor burung pergi di pagi hari dalam keadaan lapar dan bisa pulang dengan perut terisi makanan di sore harinya bahkan sambil membawa bekal untuk anak-anaknya, padahal burung itu kan tidak pernah mengenyam pendidikan, mengikuti seminar, pelatihan, motivasi layaknya manusia, kita juga jarang mendengar ada seekor burung yang mati kelaparan, kalaupun ada itu biasanya burung-burung yang terpenjara dalam sangkar dan pemiliknya lupa memberi makan lantaran sedang pulang kampung atau memang sedang lalai dan khilaf.
Lalu bagaimana dengan kita, belajar dari seokor burung tentu manusia bisamengambil pelajaran berharga berupa makna tawakal yang sesungguhnya dan arti sebuah usaha, apalagi kita dikaruniakan Allah Ta’ala berupa akal dan pikiran yang dengannya kita diberikan kemampuan untuk mengais rezeki yang halal lagi baik selama ada kemauan yang kuat. Adapun yang harus kita lakukan saat ini adalah bergerak dan terus bergerak, tetap optimis, semangat, berpikir positif dan jangan takut akan miskin, karena miskin sejatinya adalah akumulasi dari:
1.     Ketidakberdayaan
2.     Kepasifan
3.     Tidak bergerak (baca: diam)
4.     Malas dan enggan berdinamika
5.     Kurang luas atau kaku dalam pergaulan
6.     Bangga terhadap sesuatu yang semestinya tidak untuk dibanggakan.[5]

Dengan demikian kita hendaknya memahami dan mengetahui bahwa buah dari tawakal itu adalah ridha dengan ketentuan Allah Ta’ala, barangsiapa yang menyerahkan segala urusannya hanya kepada Allah Ta’ala dan ridha dengan apa yang ditentukan dan dipilihkan Allah Ta’ala untuknya maka sesungguhnya dia telah bertawaka


B. HAKEKAT TAWAKAL      
Hakikat tawakal adalah benarnya penyandaran hati kepada Allah ’Azza wa Jalla dalam mengambil suatu kebaikan dan menghilangkan suatu keburukan dari seluruh urusan dunia maupun akherat, dan beriman dengan seyakin-yakinnya bahwa tidak ada yang dapat memberi dan mencegah, serta memberikan keburukan dan manfaat kecuali hanya Allah semata.[6]

Dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :
لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا يُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا
Seandainya kalian sungguh-sungguh bertawakal kepada Allah, sungguh Allah akan memberi kalian rezeki sebagaimana Allah memberi rezeki kepada seekor burung yang pergi dalam keadaan lapar dan kembali dalam keadaan kenyang “ (HR. Imam Ahmad, Tirmidzi, Nasaai, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban, dan Al Hakim. Imam Tirmidzi berkata : hasan shahih)
Hadist ini merupakan pokok dalam masalah tawakal kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Tawakal yang benar harus disertai dengan mengambil sebab yang disyariatkan. Mengambil suatu sebab bukan berarti menafikan (meniadakan) tawakal. Rasulullah yang merupakan imamnya orang yang bertawakal, ketika beliau memasuki kota Mekah pada saat peristiwa Fathul Mekah beliau tetap menggunakan pelindung kepala (ini menunjukkan beliau mengambil sebab untuk melindungi diri beliau). Beliau juga telah memberi petunjuk untuk menggabungkan antara mengambil sebab dan bersandar kepada Allah melalui sabda beliau :
 احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ
Semangatlah kalian terhadap hal-hal yang bermanfaat bagi kalian dan mohonlah pertolongan kepada Allah “ (H.R Muslim 2664).
Dalam hadits ’Umar di atas terdapat penggabungan antara usaha mengambil sebab dengan bertawakal kepada Allah. Mengambil sebab dalam hadits tersebut disebutkan dengan perbuatan burung, yang pergi dalam keadaan lapar (perutnya dalam kedaan kosong, kemudian pergi untuk mencari rezeki), dan kembali dalam keadaan kenyang (perutnya dalam keadaan isi). Namun, ketika seseorang mengambil sebab, dia tidak boleh bersandar kepada sebab tersebut, akan tetapi harus tetap harus bersandar hanya kepada Allah. Demikian juga tidak boleh seseorang menelantarkan mengambil sebab kemudian menyangka dirinya telah bertawakal kepada Allah.[7] Sesungguhnya Allah menetapkan sebab dan Allah pula yang menetapakan hasil dari sebab tersebut.
Berkata Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah dalam Jaami’ul ’Uluum wal Hikam: ”Hadist ini merupakan asas dalam hal tawakal kepada Allah, dan sesungguhnya tawakal merupakan sebab terbesar yang dapat mendatangkan rezeki. Allah Ta’ala berfirman yang artinya :
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاًوَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, Dia akan memberikan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangaka. Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, Dia akan memberikan kecukupan baginya …” (QS. Ath Thalaaq:2-3).


C. KEUTAMAAN TAWAKAL

Tawakal merupakan salah satu ibadah hati yang paling utama dan salah satu dari berbagai akhlaq iman yang agung. Sebagaimana yang dikatakan Al-Imam Al-Ghazaly, tawakal merupakan salah satu manzilah (tingkatan) dalam agama Islam dan kedudukan bagi orang-orang yang beriman. Bahkan tawakal termasuk derajat muqarrabin (yang didekatkan/terdekat) yang paling tinggi.[8] Bahkan Ibnul Qayyim, tawakal adalah setengah dari agama dan setengah lainnya adalah inaabah (kembali kepada Allah), seperti yang diisyaratkan Allah SWT dalam firman-Nya,
“Hanya kepada Allah Aku bertawakkal dan Hanya kepada-Nya-lah Aku kembali.” (QS. Hud : 88)
Disamping itu, agama adalah ibadah dan memohon pertolongan, sebagaimana firman-Nya,
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan Hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” (QS. Al-Fatihah : 5)
Jadi tawakal adalah memohon pertolongan dan inaabah adalah ibadah.
Kebutuhan Terhadap Tawakal.                
Tawakal bagi seorang Muslim yang meniti jalan kepada Allah SWT merupakan kebutuhan pokok, terutama dalam masalah rizki, yang biasanya membuat sibuk pikiran dan hati manusia, membuat badan menjadi letih, jiwa menjadi kusut, gelisah pada waktu malam dan berpayah-payah pada waktu siang.[9]
Bahkan adakalanya di antara mereka rela mengorbankan jiwa, menjual kehormatan dan membukukkan kepala, hanya untuk mendapatkan sesuap kehidupan, yang dikira ada di tangan makhluk lain seperti dirinya, jikalau berkenan dia akan memberikan suapan kehidupan itu dan jika tidak berkenan dia dapat menahannya. Dalam pandangannya, hidupnya dan hidup anak-anaknya ada ditangan orang lain itu, yang bisa menghidupkan dan mematikan, seperti yang dikatakan Namrud takkala berdebat dengan Nabi Ibrahim as.
Bahkan boleh jadi diantara ada diantara mereka yang beranggapan lebih dari itu. Sehingga dia berani berfatwa tentang diperbolehkannya memakan yang haram, boleh menerima sogok, boleh mengambil riba, boleh mengambil harta orang lain secara bathil, karena takut kehidupannya nanti setelah tua,  atau jika menderita sakit, atau menganggur tidak mendapat pekerjaan, atau takut anak-anaknya tidak mampu berbuat apa-apa di kemudian hari setelah dia meninggal dunia.
Al-Imam Ibnul Mubarak berkata:

“Barang siapa memakan harta yang haram, maka dia bukan orang yang bertawakal.”

Cara untuk melepaskan diri dari semua itu adalah dengan bertawakal kepada Allah SWT, dengan memohon dan mengharap pertolongan dan perlindungan kepada Allah SWT. Barangsiapa mendapat pertolongan dari Allah, maka sekali-kali dia tak akan bisa dikalahkan. Barangsiapa dicukupkan Allah, maka sekali-kali dia tidak akan merasa fakir dan barangsiapa dimuliakan Allah, maka sekali-kali dia tidak akan merasa hina. Firman-Nya:
“Jika Allah menolong kamu, Maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (Tidak memberi pertolongan), Maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal.” (QS. Ali Imran : 160)
Keutamaan Tawakal Sebagaimana Yang Disebutkan Di Dalam Al-Qur’an.
Tidak mengherankan jika Al-Qur’an menaruh perhatian yang besar terhadap tawakal, entah berupa perintah untuk tawakal, pujian terhadap tawakal atau pun berupa penjelasan tentang keutamaan dan pengaruhnya di dunia serta akhirat.
Allah SWT telah memerintahkan Rasulullah saw. agar bertawakal di sembilan ayat dari Kitab-Nya. Dalam ayat-ayat Makiyah Allah SWT berfirman: “Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, Maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya. dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. Huud : 123), “Dan bertawakkallah kepada Allah yang hidup (kekal) yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya dan cukuplah dia Maha mengetahui dosa-dosa hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Furqan : 58), “Dan bertawakkallah kepada (Allah) yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang, Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk sembahyang), Dan (melihat pula) perobahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.[10] Sesungguhnya dia adalah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Asyu’ara : 217-220)

“Sebab itu bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya kamu berada di atas kebenaran yang nyata.” (QS. Annaml : 79)
Dalam ayat-ayat Madaniyah juga dapat dibaca firman Allah SWT :
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS Ali Imran : 159)
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, Maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya dialah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Anfaal : 61)
“Dan janganlah kamu menuruti orang-orang yang kafir dan orang- orang munafik itu, janganlah kamu hiraukan gangguan mereka dan bertawakkallah kepada Allah. dan cukuplah Allah sebagai Pelindung.” (QS. Al-Ahzab : 48)
Sebagaimana yang sudah diketahui, perintah-perintah yang ditujukan kepada Nabi Muhammad saw. juga ditujukan kepada ummatnya yang mukallaf (terbebani syari’at),


selagi tidak ada dalil yang menunjukan kepada kekhususan bagi beliau, seperti firman-Nya:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl : 125)
“Dan Dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam.[11] Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat. Dan bersabarlah, Karena Sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang  berbuat kebaikan.” (QS. Huud : 114-115)
Tawakal harus disertai dengan syarat keteguhan iman. Jika yang disyaratkan sirna, maka sirna pula syaratnya. Tidak bisa dikatakan, “Bukanlah hal yang disyariatkan hanya kepada orang-orang sebelum kita?” Sebab apa yang disyari’atkan kepada kaum sebelum kita, juga berlaku untuk kita, selagi tidak ada syari’at yang menghapusnya.
Sebab jika tidak, penyebutan syari’at itu merupakan hal yang sia-sia dan kita tidak dapat mengambil pelajaran darinya, yang berarti hal ini juga bertentangan dengan apa telah ditetapkan Al-Qur’an.

Syari’at kita tidak menghapus tawakal, bahkan menguatkannya.
Allah SWT menjadikan tawakal sebagai salah satu sifat orang-orang Mukmin yang fundamental, seperti dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan Hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia.” (QS. Al-Anfal : 2-4)
Secara jelas Allah SWT juga menyuruh tawakal,
“Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang Telah ditetapkan Allah untuk kami. dialah pelindung kami, dan Hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal." (QS. At-Taubah : 51)
“(Dia-lah) Allah tidak ada Tuhan selain Dia. dan hendaklah orang-orang mukmin bertawakkal kepada Allah saja.” (QS. At-Taghabun : 13).[12]


BAB III
PENUTUP

Tawakal yang merupakan perintah Allah dan sunnah Rasulullah SAW, jika dilakukan dengan baik dan benar, insya Allah tidak akan menjadikan seorang hamba menjadi hina dan tidak memiliki apa-apa. Karena tawakal tidak identik dengan kepasrahan yang tidak beralasan. Namun tawakal harus terlebih dahulu didahului dengan adanya usaha yang maksiman. Hilangnya usaha, berarti hilanglah hakekat dari tawakal itu.
Oleh kerananya, marilah kita meningkatkan rasa tawakal kita kepada Allah, dengan memperbanyak unsur-unsur yang merupakan derajat dalam ketawkalan ke dalam diri kita. Sehingga kitapun dapat masuk ke dalam surga Allah tanpa adanya hisab, sebagaimana yang dikisahkan dalam hadits di atas. Aamiin.




Daftar Pustaka

1.      www.dakwatuna.com
2.      www.muslimah.or.id
3.      www.mitraummat.org



[1] www.dakwatuna.com
[2] Ibid
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] www.dakwatuna.com





[6] Muslimah.or.id
[7] Ibid
[8] www.mitraummat.org
[9] Ibid
[10] Ibid

[11] Ibid

[12] Ibid

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "TAWAKAL ( Definisi, Hakekat, dan Keutamaan )"

Post a Comment