Hadits secara harfiah berarti perkataan atau percakapan. Dalam
terminologi Islam istilah hadits berarti melaporkan/mencatat sebuah pernyataan
dan tingkah laku dari Nabi Muhammad saw.
Menurut istilah ulama ahli hadits, hadits yaitu apa yang
diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan,
ketetapannya (taqrîr), sifat jasmani atau sifat akhlak, perjalanan setelah
diangkat sebagai Nabi (bi'tsah) dan terkadang juga sebelumnya. Sehingga, arti
hadits di sini semakna dengan sunnah.
Kata hadits yang mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan
dengan sunnah, maka pada saat ini bisa berarti segala perkataan (sabda),
perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad saw yang dijadikan ketetapan ataupun hukum.
B.
STRUKTUR HADITS
Struktur hadits terdiri dari 2 elemen penting, yaitu sanad dan
matan.
1.
Sanad
(Rantai Penutur/Perawi /Periwayat Hadits).
Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat
hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits) hingga mencapai Rasulullah. Sanad
memberikan gambaran keaslian suatu riwayat.
2. Matan ( Redaksi dari Hadits)
Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam
mamahami hadits ialah Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada
Nabi Muhammad atau bukan. Matan hadits itu sendiri dalam hubungannya dengan
hadits lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau
menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang
bertolak belakang).
C.
KLASIFIKASI HADITS.
Berdasarkan Tingkat Keaslian Hadits
1. Hadits Shahih yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada
suatu hadits. Hadits shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Sanadnya bersambung.
b. Diriwayatkan oleh penutur/perawi yang adil, memiliki sifat
istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah(kehormatan)-nya, dan
kuat ingatannya.[2]
c. Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz) serta
tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yg mencacatkan hadits.
2. Hadits Hasan bila hadits yang tersebut sanadnya bersambung,
diriwayatkan oleh rawi yg
adil namun tidak sempurna ingatannya, serta matannya tidak syadz serta
cacat.
3. Hadits Dha’if (lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak
bersambung (dapat berupa mursal, mu’allaq, mudallas, munqati’ atau mu’dal)dan
diriwayatkan oleh orang yang tidak adil
atau tidak kuat ingatannya, mengandung kejanggalan atau cacat.
4. Hadits Maudu’; bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena
dalam rantai sanadnya dijumpai
penutur yang memiliki kemungkinan berdusta.
D.
HADITS SEBAGAI SUMBER TASYRI’
Hadits adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang
kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an
sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah
juga merupakan sumber hukum Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Sunnah
sebagai sumber hukum Islam, bukan saja memperoleh dosa, tetpai juga murtad
hukumnya.[3]
Ayat-ayat Al-Qur’an sendiri telah cukup menjadi alasan yang pasti tentang
kebenaran Al-Hadits, ini sebagai sumber hukum Islam. Di dalam Al-Quran
dijelaskan umat Islam harus kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, diantara ayatnya
adalah sebagai berikut:
1. Setiap Mu’min harus taat kepada Allah dan kepada Rasulullah.
(Al-Anfal: 20, Muhammad: 33, an-Nisa: 59, Ali ‘Imran: 32, al- Mujadalah: 13,
an-Nur: 54, al-Maidah: 92).
2. Patuh kepada Rasul berarti patuh dan cinta kepada Allah.
(An-Nisa: 80, Ali ‘Imran: 31)
3. Orang yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan siksa. (Al-Anfal:
13, Al-Mujadilah: 5, An-Nisa: 115).
4. Berhukum terhadap Sunnah adalah tanda orang yang beriman.
(An-Nisa: 65).
Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena selain
memang di perintahkan oleh Al-Qur’an, juga untuk memudahkan dalam menentukan
(menghukumi) suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali
tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai sumber hukum utama. Apabila Sunnah
tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan
kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar dan
ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam
hal ini tersebut hanya berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan
secara terperinci justru Sunnah Rasulullah.[4]
Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan
ayat-ayat yang musytarak (multi makna), muhtamal (mengandung makna alternatif)
dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya. Dan
apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan
rasio (logika) sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat
subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Imam-imam pembina
mazhab semuanya mengharuskan kita umat Islam kembali kepada As_sunnah dalam
menghadapi permasalahannya.
Asy-Syafi’i berkata;
إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله ص م فقولوا بسنة رسول الله ص م
ودعوا ما قلت
“Apabila kamu menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlawanan
dengan sunnah Rasulullah Saw. Maka berkatalah menurut Sunnah Rasulullah Saw,
dan tinggalkan apa yang telah aku katakan.”
Perkataan imam Syafi’I ini memmberikan pengertian bahwa segala
pendapat para ulama harus kita tinggalkan apabila dalam kenyataannya berlawanan
dengan hadits Nabi Saw. Dan apa yang dikat erikan pengertian bahwa segala
pendapat para ulama harus kita tinggalkan apabila dalam akan Asy-Syafi’I ini
juga dikatakan oleh para ulama yang lainnya.
Tetapi Tidak semua
perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum yang harus diikuti oleh umatnya,
seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum kerasulannya.
E.
DALIL-DALIL KEHUJJAHAN HADITS
Dalil-dalil
kehujjahan hadis artinya dalil-dalil atau keterangan atau argumen yang
menegaskan bahwa hadis merupakan sumber ajaran Islam yang wajib diperpegangi.
Ada 4 dalil yang menunjukkan bahwa hadis merupakan salah satu sumber syari’at
atau ajaran Islam yang wajib diperpegangi adalah :
1) Iman
Salah satu konsekwensi beriman kepada Nabi Muhammad SAW adalah
menerima segala sesuatu yang datang dari Rasul dalam urusan agama. Allah Swt
telah memilih para Rasul di antara para hamba agar menyampaikan syari’at-Nya
kepada umat. Rasulullah SAW merupakan orang yang dipercaya menyampaikan
syari’at Allah SWT dalam agama, Rasul tidak menyampaikan sesuatu kecuali
berdasarkan wahyu. Konsekwensi tersebut, mewajibkan bertumpu kepada sunnah dan
menggunakannya sebagai hujjah serta percaya penuh kepada pembawa risalah
dimaksud yaitu Rasulullah SAW. Hal ini sejalan firman Allah yang terdapat di
dalam surat an-Nisa’ ayat 65 yang berbunyi :
فَلَا وَرَبِّكَ
لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا
فِي
أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا
مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا.
Artinya : Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu
berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (Q.S. an-Nisa’ : 65)
2) Al-Qur’an al-Karim
Di dalam Al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menjelaskan kewajiban
taat kepada Rasul SAW, antara lain :
a. Firman Allah SWT. dalam surat an-Nisa’ ayat 59 :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي
شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُول
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul(Nya), dan Uli al-Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan
Rasul (sunnah).(Q. S. al-Nisa’ : 59)
b. Firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat 80 :
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ
فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
Artinya : Barangsiapa yang mentaati Rasul, sesungguhnya ia telah
mentaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami
tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (Q. S. al-Nisa’ : 80).
c. Firman Allah SWT dalam surat al-Hasyr ayat 7 :
وَمَا ءَاتَاكُمُ
الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ
اللَّهَ
شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya : Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan
apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (Q.S. al-Hasyr : 7)
3) Sunnah atau Hadis
Di dalam hadis atau sunnah banyak ditemukan penjelasan Rasul SAW
tentang kehujjahan hadis-hadisnya. Antara lain sebagai berikut :
a. Hadis riwayat Ibnu Majah yang berbunyi :
سَمِعْتُ الْعِرْبَاضَ
بْنَ سَارِيَةَ يَقُولُ قَامَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ :عَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا
عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
(رواه إبن ماجه)
Artinya : aku mendengar 'Irbadl bin Sariyah berkata; "Pada
suatu hari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berdiri di tengah-tengah
kami, Beliau bersabda: hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan
sunnah para khulafah ar-rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah itu
dengan gigi geraham. (H. R. Ibnu Majah)
b. Hadis riwayat Imam Malik yang berbunyi :
و حَدَّثَنِي عَنْ
مَالِك أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ تَرَكْتُ
فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ
وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
(رواه مالك)
Artinya : Telah menceritakan kepadaku dari Malik telah sampai
kepadanya bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Telah
aku tinggalkan untuk kalian, dua perkara yang kalian tidak akan sesat selama
kalian berpegang teguh dengan keduanya; Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya. (H. R.
Imam Malik)
c. Hadis riwayat Ibnu Majah yang berbunyi :
مَنْ أَطَاعَنِي
فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ ( إبن ماجه)
Artinya : "Barang siapa yang mentaatiku berarti ia taat kepada
Allah, dan siapa yang membangkang kepadaku maka ia telah membangkang pada
Allah. (H. R. Ibnu Majah)
4) Ijma’
Para sahabat telah sepakat menetapkan kewajiban mengikuti hadis,
baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat. Di waktu
hidup Rasulullah, para shahabat semua konsekuen melaksanakan hukum-hukum
Rasulullah, mematuhi peraturan-peraturan dan meninggalkan larangan-larangannya.
Apa yang diwahyukan kepada Rasul Saw mengandung hidayah dan kebaikan bagi para
pengikutnya serta jalan keselamatan mereka di dunia dan akhirat. Karena semua
itulah, kaum muslimin berpegang teguh serta mengamalkan sunnah Nabawiyah
tersebut.
Dijelaskan juga bahwa Abu Bakar berkata: “Sunnah itu adalah tali
Allah yang kuat”, sementara Syaikhul Islam Ibnu Taymiah berkata:” Sesungguhnya
Sunnah itu adalah syari’at, yakni apa-apa yang disyari’atkan Allah dan
Rasul-Nya dari agama. (Yazid Abdul Qadir Jawas, 1993:71)”
Strategi Berimam (mengikut) kepala Al-Qur’an dan Hadis
1. Strategi Berimam Kepada al-Qur’an dan Hadis
a. Berimam kepada Al-Qur’an secara Totalitas
Al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi
Muhammad SAW. Al Qur’an merupakan sumber rujukan paling utama bagi umat Islam,
dan bagian dari rukun iman. Al Qur’an dinyatakan sebagai pedoman hidup dan
rahmatan lil ‘alamin, artinya, siapa saja yang mengaku dirinya sebagai muslim,
maka sudah sepantasnyalah dia mengamalkan apa-apa yang terdapat di dalam Al
Qur’an tersebut.
Menjadikan Al Qur’an sebagai imam, berarti mengakui seluruh
kandungan yang ada di dalamnya, baik berupa aqidah, ibadah, syiar, akhlaq,
adab, syariat, dan muamalah. Seorang muslim tidak boleh hanya mengambil
sebagiannya saja, misalnya dia hanya mengambil bagian aqidah, namun menolak
bagian ibadah. Atau dia mengambil bagian syariat, namun menolak aqidah. Atau
dia mengambil bagian ekonomi, namun menolak bagian politik, dan seterusnya.
Langkah memulainya dengan mengimani Al Qur’an dahulu secara kaffah,
menyeluruh, totalitas, tanpa tawar-menawar lalu baru dikuti dengan
menjadikannya imam juga secara totalitas (kaffah) (Hendratno, 2012: 1).
b. Berimam kepada Hadis Rasul yang shahih dan Hasan
Hadis shahih adalah hadis yang telah diakui dan disepakati
kebenarannya oleh para ahli hadis sebagai sesuatu yang datang dari Rasulullah
SAW. Sedangkan hadis hasan dipahami hampir setara dengan hadis shahih, namun
yang membedakannya adalah tingkat kedhabithan para periwayat yang meriwayatkan
hadis tersebut.
Dari statemen di atas dipahami bahwa hadis shahih dan hadis hasan
adalah termasuk kategori hadis yang dapat diterima dan dijadikan pedoman,
ikutan serta sumber hukum. Disebutkan juga bahwa hadis-hadis Rasul dalam
kelompok ini dinamakan hadis maqbul sedangkan di luar dua kelompok ini
dinamakan hadis mardud atau hadis yang ditolak dan tidak dikuti atau dijadikan
imam, (Ramli Abdul Wahid, 2003:17).
c. Berimam kepada Sebahagian Hadis Rasul yang Dha’if
Ulama hadits telah sepakat bahwa tidak boleh mengamalkan hadis
dhaif dalam bidang hukum/menentukan hukum. Tetapi mereka berbeda pendapat
tentang mempergunakannya dalam bidang-bidang lain.
Kupas tuntas tentang hukum berimam atau beramal dengan menggunakan
hadis dha’if memunculkan tiga kelompok ulama yang berkomentar tentang ini, satu
kelompok menyatakan boleh berimam dan beramal dengan hadis dha’if secara mutlak
dengan tiga syarat. Kelompok ini diwakili oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan
pengikutnya Abu Daud. Menurut Imam Ahmad; hadis dha’if dalam pandangan kami
lebih baik dari pada pendapat seseorang (ra’yu), (Fawwaz Ahmad Zamraliy,
1995:38).
Dari uraian di atas, jelas terlihat bahwa dalam khazanah keislaman
ditemukan tiga pola atau strategi seorang muslim berimam kepada al-Qur’an; ada
yang berimam secara totalitas kepada al-Qur’an dan hadis ada yang berimam
kepada hadis shahih dan hasan saja dan ada pula yang berimam kepada sebahagian
hadis dha’if.
Semoga Bermanfaat Sobat...*
Belum ada tanggapan untuk "Apa Itu Hadits ???*"
Post a Comment